Bank Indonesia (BI) mengharamkan cryptocurrency seperti Bitcoin dan Ethereum sebagai alat pembayaran negara Indonesia. Pasalnya, menurut Undang-Undang alat pembayaran resmi negara Indonesia hanya rupiah.
Namun BI tidak bisa melarang warga yang ingin berinvestasi cryptocurrency (mata uang digital) karena ranah ini bukan kewenangannya. Meski begitu BI mengingatkan agar berhati-hati berinvestasi cryptocurrency dengan alasan underlying asset (aset dasar) yang tak jelas dan risiko yang tinggi.
“Sebagai otoritas sistem pembayaran, kita masih melarang penggunaan cryptocurrency sebagai pembayaran. Tapi untuk investasi, bukan dengan kita (pengawasannya). Kita sudah mewanti-wanti risikonya, karena tidak ada underlying asset (aset dasar),” ujar Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam diskusi virtual, mengutip Kamis (15/4/2021).
Asisten Gubernur & Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Filianingsih Hendarta menjelaskan, secara umum ada dua hal yang harus perhatikan dalam melakukan investasi. Pertama return (imbal hasil) dan kedua risiko.
“Biasanya return tinggi, risikonya juga tinggi. Jadi, tergantung dari risk appetite (kemampuan menyerap risiko) masing-masing (investor). Bagaimana balancing return yang menghasilkan dengan risk (risiko) yang ada,” tutur Filianingsih.
“Jadi kita harus memitigasi itu. Kalau investasi biasanya orang juga melihat ke-likuid-an dari alat investasinya, seberapa likuid. Kalau dibutuhkan, apakah dengan cepat (bisa dicairkan), itu juga mempengaruhi,” kata Filianingsih melanjutkan.