Pada hari Minggu, 24 Oktober 2021, situs Jatim.nu.or.id mengumumkan keputusan PWNU Jawa Timur yang mengharamkan cryptocurrency. Hal tersebut diputuskan pada saat kegiatan Bahtsul Masail yang dihadirkan Pengurus Cabang Nahdhatul Ulama (PCNU) dan pengurus pesantren se-Jawa Timur. Nantinya, keputusan ini akan diteruskan ke pusat untuk ramai-ramai mencanangkan fatwa haram cryptocurrency.
Fatwa yang sempat meramaikan komunitas cryptocurrency itu didasari atas pandangan peserta kegiatan yang menganggap bahwa cryptocurrency tidak bisa dilegalkan secara syariah karena kemungkinannya yang rentan akan penipuan.
Beberapa peserta dalam musyawarah tersebut juga berpandangan bahwa cryptocurrency atau mata uang digital tidak memiliki manfaat secara syariat. Musyawarah tersebut, selain dihadiri dari pihak NU, juga dihadiri oleh salah satu tim ahli cryptocurrency yang diundang oleh PWNU Jatim untuk menjelaskan kronologi praktik cryptocurrency. Sayangnya, yang disebut-sebut sebagai ahli cryptocurrency itu membenarkan statement dalam musyawarah tersebut.
Apakah benar cryptocurrency adalah industri yang sama seperti perbincangan dalam musyawarah itu? Agus Artemis selaku trader cryptocurrency Indonesia sekaligus founder dari media Cryptoiz menyayangkan fatwa tersebut. Ia menyebutkan bahwa PWNU perlu melakukan riset lebih mendalam terhadap blockchain dan cryptocurrency sebelum merekomendasikan fundamental yang besar dan melibatkan banyak orang seperti fatwa haram tersebut.
Wakil Ketua PWNU KH Ahmad Fahrur Rozi sempat menyebutkan bahwa dalam sebuah hukum jual beli diperlukan kerelaan dan hal itu tidak dilihat pihak PWNU dalam cryptocurrency. Padahal mata uang kripto sendiri berdiri di atas sistem blockchain yang sifatnya terdesentralisasi dan transparan. Hal itu memungkinkan pemilik untuk bisa memindahkan asset kapan pun ia mu. Dalam kripto juga ada proses tawar menawar dan pemilik asset dapat mengisi antrean kapan ia mau menjual dan membeli sebuah asset. Selain itu, PWNU juga mengklaim bahwa kripto berpotensi penipuan.
Agus Artemis menyanggah hal tersebut. “Ya memang benar ada potensi penipuan dalam cryptocurrency. Tapi bukan berarti yang diberikan label haram adalah crypto-nya. Di mata uang rupiah juga ada penipuan seperti investasi bodong contohnya, Namun apakah itu menjadi salah rupiahnya?”
Ia berharap jika pengajuan fatwa haram ini telah sampai ke PBNU, pihak NU tetap me-review dan meriset kembali apa itu blockchain dan apa itu cryptocurrency secara mendalam. Hal tersebut penting untuk nasib negara ke depan yang sudah semakin tertinggal oleh negara lain yang mulai melek terhadap value besar teknologi blockchain.